Agama, Igama, Ugama
Ikang dharma ngaran ika, hetuning mara ring swarga ika, kadi gatining prahu, an hetuning banyaga entasing tasik.
(Sarasamuccaya 14)
(Sarasamuccaya 14)
Adapun yang disebut Agama (dharma) itu,
adalah jalan untuk mencapai sorgalah itu, sebagai ibarat perahu, adalah
merupakan alat dari nelayan untuk menyebrangi lautan.
Sebagaimana manusia beragama secara individu dan sosial, umat Hindu memiliki harapan untuk mengecap manisnya jagadhita dan moksa.
Dalam proses berkeagamaan kadangkala menemukan beraneka istilah yang
multi tafsir, baik tersurat dalam naskah keagamaan maupun hidup dalam
kebiasaan masyarakat. Semua itu buka sekedar istilah tanpa makna dan
nir-implementasi. Adalah Agama, Igama, dan Ugama
merupakan istilah yang sering tersurat dalam naskah-naskah lontar yang
bernuansa keagamaan Hindu di Bali yang menarik untuk dibahas dalam
tulisan singkat ini.
Khusus tentang kata Agama yang
mulanya bersumber dari Bahasa Sanskerta, kemudian lebih popular karena
sering dirujuk sebagai istilah keyakinan yang dianggap terlembaga dan
resmi diakui oleh negara RI, yakni Agama Hindu, Islam, Buddha, Kristen
Katolik, Protestan, dan Konghucu. Dalam konteks lokal Hindu di Bali,
kata “agama” memiliki arti lain, utamanya jika disandingkan dengan istilah Igama dan Ugama.
Agama, Igama, dan Ugama
masih menyisakan pengertian dan makna bias hingga kini. Bahkan ketiga
istilah ini kini pada umumnya jarang didengar dan diketahui oleh
masyarakat di Bali. Bahkan ada beberapa penafsiran tentang ketiga
istilah tersebut. Ketiganya ada yang dirujuk dari naskah Lontar Sundarigama,
sebuah naskah yang memuat hari-hari perayaan dan ritual keagamaan
Hindu. Ketiga istilah tersebut disejajarkan dengan tiga kerangka dasar
agama Hindi, yakti tattwa, sila, dan acara. Agama diartikan sebagai ambek ‘sikap’ atau disejajarkan dengan sila atau susila, Igama diartikan sebagai idep ‘pikiran’ atau disejajarkan dengan tattwa ‘hakekat ketuhanan’, Ugama diartikan sebagai ulah ‘perilaku’ atau disejajarkan dengan acara ‘upacara keagamaan’.
Hal tersebut mungkin semata-mata hanya
tampak berupa istilah, namun di balik itu jika dihayati, ketiga-tiganya
merujuk pada manusia itu sendiri. Manusia yang bersikap, berpikir,
berperilaku. Entah apa yang diamanatkan tersebut, mungkin manusia
dianjurkan untuk lebih sering mengenal dirinya untuk menemukan jati diri
dan peran manusia sesungguhnya dalam membangun hubungan dengan Tuhan,
sesame manusia dan lingkungan alam dalam koridor harmonisasi.
Bagaimana manusia membangun jati diri
lewat keagamaan agar mampu menjadi manusia seutuhnya, berkarakter,
manusia yang mampu menciptakan kedamaian dimana saja, sehingga dialah
yang sungguh-sungguh menjadi pengemban dharma.
Dharma tidak hanya dapat diimplementasikan dalam ruang individu, namun di dalam kehidupan sosial, masyarakat Hindu menjalankan dharma agama dan dharma negara. Begitu juga Agama, Igama, dan Ugama juga relevan ketika membicarakan implementasi dharma agama dan dharma negara. Dimana Agama diartikan sebagai hubungan harmoni dengan tata caranya yang terstruktur antara manusia dengan raja atau pemimpinnya;
Igama diartikan sebagai cara menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan; dan Ugama,
sebagai cara menjalin hubungan harmoni dengan sesama manusia yang di
dalamnya juga terdapat tata cara dan pedoman perilaku yang sesuai dengan
tata susila yang diamanatkan kerangka dasar agama Hindu.
Ketiga konsep ini juga kemungkinan
berperan memunculkan berbagai tata cara dan tata susila di Bali. Baik
dalam sistem komunikasi dalam ruang social, tata busana, jenis ritual,
dan pengelompokan masyarakat. Tentunya pengelompokan masyarakat ini
tidak dilihat dari sisi kasta, namun dari Catur Warna yang
mengusung ideologi profesionalisme. Oleh karena itu, walaupun manusia
Hindu Bali lebih tampak menjalankan aktivitas keagamaannya di ruang
sosial, namun dalam mengimplementasikan Agama, Igama, dan Ugama
juga terbersit pengimplementasian pada diri. Hal ini dapat dilihat dari
cara-cara tertentu dalam beragama pada umumnya. Cara itu ada yang
diterima dari sastra dresta ‘ajaran kitab suci dan sastra keagamaan’, kuna dresta ‘tradisi turun temurun’, kula dresta ‘dari tradisi keluarga’.
Untuk mudah menjalankan cara-cara yang ditawarkan dalam belantara Hindu, begitu juga seandainya menyelami makna Agama, Igama, dan Ugama,
penganutnya diajarkan empat jalan untuk mengecap manisnya kemuliaan.
Keempatnya masing-masing menawarkan metode khusus untuk menggapai tujuan
keseimbangan materi/fisik, psikis, dan spiritual. Diantara keempatnya
ada yang bersifat dapat diamalkan secara individu, seperti yoga marga dan jnana marga, ada pula secara yang bersentuhan dengan kehidupan sosial, seperti karma marga dan bhakti marga. Atau ada pula menjalankannya dalam kehidupan individu maupun sosial sekaligus, namun hal itu perlu disesuaikan dengan desa, kala, patra.
Oleh: I Made Arista
Tidak ada komentar:
Posting Komentar