Sabtu, 26 September 2015

Barong Landung by Dede Yasa Varmaraksha



#Barong_Landung, jika istilah ini dibaca oleh teman2 asal Bali yang mengetahui kisah umumnya, kebanyakan akan berpikir bahwa Barong Landung itu ada kaitannya dengan seorang raja yang mempunyai Abisheka Ratu sebagai Shri Aji Jayapangus, yang memerintah Bali pada Tahun 1177-1181M. Ya, memang begitulah pemahaman yang beredar secara umum. Tapi, apakah pemahaman itu 100% benar? Menarik untuk didalami.

Benarkah para pengusung Barong Landung itu benar2 hanya mengusung Sang Ratu Shri Aji Jayapangus, serta hanya sebagai bentuk penghormatan pada beliau?
Jika anggapannya hanya terkait Sang Ratu Shri Aji Jayapangus, kenapa di Desa A yang mengungsung Barong Landung disebut Ida Bhatara Gede "Anu", dan di Desa lain disebut Ida Bhatara Gede "yang lain"?

Apakah perwujudan Barong Landung itu merupakan penggambaran perwujudan Sang Ratu?
Jika anggapannya hanya terkait Sang Ratu Shri Aji Jayapangus, KENAPA di daerah lain selain di Bali juga ada perwujudan serupa?
Contoh palilng mudah adalah Ondel-Ondel di Betawi (ada kemungkinan perwujudan #Ondel-ondel yang semula, sebelum masuknya sistem kepercayaan baru tidaklah seperti yang kita lihat sekarang ini).
Contoh lain adalah #Badawang di Jawa Barat, dalam Bahasa Sunda istilah Badawang juga bersinonim dengan wujud perawakan seseorang yang "tinggi besar". Landung dalam Bahasa Bali juga berarti "tinggi besar".
Di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis
Di Sumatera, di daerah Simalungun dan Karo juga ada yang disebut #Begu_Ganjang.

Atau, tidakkah Barong Landung itu sesungguhnya adalah bentuk penghormatan sekaligus sandi yang diberikan oleh Leluhur kita sebagai pendatang baru, untuk menghormati mereka para penduduk asli Tanah ini, kepada generasi selanjutnya agar mengenali dan menyadari tentang siapa #Leluhur_Tanah ini?

Dalam salah satu catatan berjudul "Sari Manik Tuluk Biyu", pada Lontar tua di Bali, ada dikisahkan sebagai berikut:
--------
......Shri Maharaja Purusada menurunkan dua orang yaitu: Sanghyang Jayengrat alias Shri Maharaja Sek Sukaranti dan Sanghyang Aji Nuk Wasir. Shri Nuk Wasir menurunkan Shri Maharaja Nuk Sukeranti yang menurunkan dua orang yaitu yang Sulung Shri Nuk Rwa adiknya Shri Nuk Wasininda. Shri Nuk Rwa sebagai raja di Jagat Goan Negeri China, rakyatnya semua Bangsa China. Dikisahkan Shri Nuk Wasir diikuti oleh para Dewa-Dewi dan Rsi meninggalkan negerinya guna menjelajah dunia, tibalah beliau di Banoa Bangsul (yang sekarang bernama Pulau Bali). Rombongan tersebut di Banoa Bangsul menyaksikan ada Parhyangan (yang sekarang disebut Pura) besar dan kecil yang senantiasa dipuja oleh masyarakat Banoa Bangsul, sehingga keadaan masyarakat menjadi tentram dan kerta-raharja.

Shri Maharaja Sek Sukaranti atau Shri Jayengrat berasal dari jagat Purusada hendak bersuka cita (anglila-cita) diiringi oleh Bala Mantrinya sebanyak 8000 orang. Shri Maharaja Purusada memerintahkan Patih Demang Copong untuk mengawal robongan tersebut, yang mana dalam perjalanan tiba-tiba Shri Jayengrat mangkat. Dengan mangkatnya Shri Jayengrat ke alam Dewata tiba-tiba muncul niat Patih Demang Copong untuk memperistri Dewi Manik Galih, namun niat tersebut ditolak oleh Sang Dewi. Akhirnya Sang Dewi mesatya gni (menceburkan diri ke kobaran api sebagai wujud kesetiaannya terhadap suami), badan dan tulang belulangnya hangus terbakar menjadi abu. Penghanyutan abu jenazah Dewi Manik Galih inilah sebagai awal kisah terbentuknya Banoa Bangsul yang pertama menurut kisah lontar Sari Manik Tuluk Biyu tersebut.

Rombongan Patih Demang Copong menghanyutkan abu Dewi Manik Galih ke dalam samudra menggunakan kapal (Jong), kapal rombongan tersebut tiba-tiba terdampar. Air lautnya berbuih kemudian mengental menjadi lumpur, tempat dimana kapal terdampar itu sebagai cikal-bakal tanah Bali pertama kali sehingga dinamakan Gelgel Jagat Kapal.....
--------

Dari membaca kutipan lontar di atas, dapat kita lihat kisah ada serombongan pengelana yang sedang mengarah ke Pulau Bali. Mereka menyaksikan ada Parhyangan besar dan kecil yang senantiasa dipuja oleh masyarakat Bali. Dengan kata lain, ketika rombongan tersebut melihat keadaan Pulau Bali ini, sudah ada masyarakat dan mempunyai sistem kepercayaan sendiri.

Ketika dikisahkan ada kejadian kapal-kapal rombongan tersebut tiba-tiba terdampar, air laut berbuih kemudian mengental menjadi lumpur, kita bisa menghubungkan kejadian ini dengan kisah banjir besar yang pernah melanda Bhumi. Ada kemungkinan, kejadian kedatangan rombongan tersebut ketika berakhirnya banjir besar tersebut. Dengan demikian, penduduk Bali yang mereka lihat itu berada di daerah dataran yang tinggi, dimana banjir besar itu tidak sampai menenggelamkan dataran tinggi tersebut.

Lalu siapakah masyarakat Bali yang dilihat oleh rombongan tersebut yang mempunyai Parhyangan besar dan kecil itu?
Lontar Sari Manik Tuluk Biyu Batur ini pun mencatatnya:
--------
....ketika Bhatara Çiwa menciptakan manusia di Bali Manusia ada lima jenis yang merupakan pengikut Bhatara Çiwa. Manusia yang berasal dari inti (les) pohon nangka yang dinamakan I Ketewel. Manusia yang tercipta dari pangurip-urip gunung, dan mereka tersebar di gunung-gunung :
1. Wong Jugul Demang :
Perawakannya tinggi dan besar, bisa berubah wujud, warnanya hitam, matanya bundar, wajahnya panjang seperti kera.
*(Dalam sebuah kliping surat kabar zaman Belanda, dilaporkan bahwa Wong Jugul Demang masih bertransaksi rempah-rempah dengan Belanda di Tulamben, Karangasem, pantai Timur Laut Gunung Agung Bali.)

2. Wong Demang :
Perawakannya tinggi dan besar, kulitnya berwarna merah, rambutnya merah, bibirnya lebar, berwajah seperti kera, bermata bundar melotot/mendelik.

3. Wong Sekama-kama :
Tidak bisa disebutkan dimana menetapnya, karena banyaknya tak terhitung jumlahnya dan ada di segala tempat.Wong Tanbya :
Perawakannya tinggi dan besar, bermata biru, berwajah lebar.

4. Wong Selatra :
Perawakannya sesuai kehendaknya, mengetahui segala rencana.

5. Wong Gamang :
Semua jenis makhluk halus.
--------

Dari sumber2 catatan tua ini, kita dapat mencapai sebuah pemahaman bahwa ada 5 ras selain ras manusia seperti kita pada umumnya yang sudah hidup bermasyarakat dan mempunyai sistem kepercayaan sendiri, jauh sebelum leluhur-leluhur kita mendatangi tanah ini.

Melihat kemiripan dan kemisteriusan ras-ras selain manusia seperti kita, selain Barong Landung/Ondel-Ondel/Badawang/Barongan Buncis/Begu Ganjang, di luar sana juga ada yang disebut Yeti dan juga Big Foot. Dari berbagai penelusuran, jika dari kisah mereka yang pernah bertemu langsung dengan mereka akan mengatakan bahwa ras-ras itu sangat bijaksana, mereka memberikan tuntunan dan menyadarkan adanya kesalahan cara pandang manusia. Tapi tentunya akan bertolak belakang dengan anggapan2 kosong yang muncul dari pernyataan para politikus berkedok agama. Sebab, bagaimana pun, penduduk asli adalah target konversi, jika tidak bisa maka mereka harus dijadikan musuh. Pola ini bukan pola baru, pola ini sudah terjadi sejak lebih dari ribuan tahun yang lalu. Pola yang bukan hanya membuat banyak orang lupa tentang siapa sesungguhnya leluhur mereka sendiri, tapi lebih parah dari itu, pola yang membuat terlalu banyak orang yang tidak tau bahkan memusuhi Leluhur Tanah ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar